PRICELESS-STORIES – Dalam ajaran Islam, pedoman seputar konsumsi makanan diatur secara mendetail dan ini termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits. Khususnya, daging babi dianggap sebagai makanan yang haram, yakni terlarang bagi pemeluk agama Islam. Terdapat beragam justifikasi terkait pengharaman babi dalam Islam yang berasal dari ajaran agama serta aspek kesehatan.

Al-Qur’an melarang konsumsi daging babi dengan tegas melalui berbagai ayat. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:173), Surah Al-An’am (6:145), dan Surah An-Nahl (16:115), semua menegaskan bahwa daging babi dianggap kotor dan tidak boleh dimakan oleh Muslim. Ayat-ayat ini umumnya dipahami sebagai perintah dari Tuhan serta merupakan bagian dari kepatuhan terhadap syariat Islam.

Tidak hanya didasarkan pada alasan spiritual, terdapat argumentasi kesehatan yang mendukung larangan ini. Babi diketahui dapat menjadi vektor bagi parasit dan penyakit yang berisiko untuk manusia. Contohnya adalah cacing pita (Taenia solium), yang berpotensi menyebabkan sisteiserkosis, suatu kondisi kesehatan yang serius pada manusia. Babi juga rentan terhadap parasit lain seperti trichinella, yang menyebabkan trichinosis.

Dengan sistem eliminasi racun yang berbeda, babi melepaskan sejumlah besar toksin melalui kulitnya. Namun, karena kurangnya kelenjar keringat, proses detoksifikasi ini tidak seefisien pada hewan lain, sehingga toksin dapat terakumulasi dalam daging dan lemak babi.

Adapun dari segi kandungan, babi memiliki tingkat kolesterol dan lemak jenuh yang tinggi, yang telah dikaitkan dengan berbagai kondisi kesehatan seperti penyakit jantung dan diabetes. Pada masa sebelum teknologi pengawetan makanan canggih, risiko mengkonsumsi daging babi yang terkontaminasi lebih tinggi, sehingga larangan ini juga dapat dilihat sebagai langkah preventif kesehatan.

Babi juga dianggap sebagai hewan yang tidak higienis oleh beberapa masyarakat karena pola makannya yang omnivora, termasuk memakan bangkai dan limbah, yang meningkatkan risiko akumulasi substansi berbahaya dalam tubuhnya. Dari sisi lingkungan, metode peternakan babi tradisional dapat memberi dampak negatif, termasuk pembuangan limbah yang masif dan potensi penyebaran penyakit.

Islam menekankan bahwa kesehatan adalah nikmat yang harus dipelihara. Panduan halal dan haram dalam asupan makanan bukan hanya terkait dengan ketakwaan spiritual, tetapi juga dengan pemeliharaan fisik sebagai amanah dari Sang Pencipta. Dalam konteks ini, menghindari babi dianggap sebagai upaya menjaga kebersihan fisik dan spiritual.

Pemeliharaan ‘taharah’ (kebersihan) dalam Islam mencakup aspek fisik dan spiritual. Terkait dengan diet, dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang dianggap baik dan bersih (tayyib), yang termasuk menghindari bahan makanan yang dianggap berisiko mengandung racun atau unsur berbahaya.

Pengharaman babi dalam Islam adalah refleksi dari perintah suci dalam Al-Qur’an, kepedulian terhadap kesehatan, serta pertimbangan sosial dan lingkungan. Meskipun beberapa alasan kesehatan mungkin lebih berlaku di masa lalu, umat Islam di seluruh dunia tetap mematuhi larangan ini sebagai ekspresi iman dan kepatuhan terhadap nilai-nilai Islam. Kepatuhan terhadap aturan ini dipandang sebagai langkah menuju kehidupan yang lebih sehat dan suci, serta penghormatan terhadap hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk kemanusiaan.